E-journal

EFEKTIFITAS TISU BASAH ANTISEPTIK SEBAGAI ALTERNATIF CUCI TANGAN BIASA DALAM MENURUNKAN JUMLAH BAKTERI TELAPAK TANGAN ABSTRAK Infeksi saluran cerna disebabkan oleh konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi mikroorganisme, cuci tangan tidak memadai dapat menyebabkan makanan terkontaminasi mikroorganisme, terutama yang berasal dari tinja. Penularan fecal oral bisa dikurangi dengan berbagai cara, salah satunya yaitu sering cuci tangan secara menyeluruh, terutama setelah menggunakan kamar kecil. Terdapat penelitian yang mengemukakan bahwa tisu basah merupakan alternatif yang dapat diterima untuk menggantikan cuci tangan menggunakan sabun dan air dalam menjaga kesehatan dan mengurangi terjadinya iritasi kulit. Tujuan penelitian adalah ingin mengetahui efektifitas tisu basah antiseptik sebagai alternatif cuci tangan biasa dalam menurunkan jumlah bakteri telapak tangan. Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, berupa pemeriksaan bakteriologi menurut metode “swab” menggunakan pre test dan post test desain. Penelitian dilakukan terhadap 24 mahasiswa di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes A. Yani Cimahi. Analisis data secara statistik yaitu dependen t test dan Independen t tetst. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum dan setelah mencuci tangan menggunakan sabun maupun tisu basah (p=0,0001) dan (p=0,005).Tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa yang mencuci tangan menggunakan sabun dan tisu basah (p=0,194). Dapat disimpulkan bahwa tisu basah dapat digunakan sebagai penganti cuci tangan biasa. Saran diperlukan penelitian lebih lanjut dengan memeriksa subjek penelitian dari berbagai profesi untuk memperoleh hasil yang lebih objektif. Katakunci: Cuci tangan, eksperimental dan tisu basah Infeksi saluran cerna memiliki agka morbiditas dan mortalitas yang tinggi di seluruh dunia, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan di Negara berkembang terutama di daerah tropis.Indonesia sebagian Negara tropis dannegara berkembang diperkirakanmemiliki prevalensi infeksi saluran cerna yang cakupannya tinggi (Herbowo A.Soetomenggolo, 2010).Berdasarkan laporan Departemen Dinas Kesehatan tatun 2007, insidensi diare di Jawa Barat 1.869.638 kasus, di Infeksi saluran cerna disebabkan oleh konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi mikroorganisme. Dalam proses persiapan makanan, cuci tangan tidak memadai dapat menyebabkan makanan terkontaminasi mikroorganisme, terutama yang berasal dari tinja. Penularan fecal oral bisa dikurangi dengan berbagai cara. Salah satu cara yaitu sering cuci tangan secara menyeluruh, terutama setelah menggunakan kamar kecil (Departement of Mikrobiologiy, Selain itu, tangan juga merupakan perantara penting dalam transmisi mikroorganisme penyebab infeksi lain, seperti influenza, yang dapat ditularkan dengan mengusap hidung atau mata oleh tangan yang terkontaminasi (Corner, 2009). Cuci tangan merupakan cara paling sederhana dan efektif untuk mencegah penyebaran bakteri, pathogen dan virus (CDC. 2002). Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007, secara nasional menunjukan bahwa 23,2 % penduduk berperilaku benar dalam kebiasaan mencuci tangan yang baik. Provinsi yang berpestasi tertinggi dalam mencuci tangan yang baik dalah DKI Jakarta (44,7%). Provinsi yang memiliki prestasi rendah dalam mencuci tangan yang baik adalah Sumatra Barat (8,4%), Sumatra Utara ( 14,5%) dan Riau (14,6%). Sedangkan di Bandung prestasi cuci tangan yang baik sebesar Untuk kewaspadaan keamanan pangan dianjurkan untuk cuci tangan selama 20 detik dengan ar sabun (untuk tangan anak-anak dapat menggunakan air hangat sebai gantinya). Menggosok tangan, pergelangan tangan, kuku dan antara jari-jari dengan benar. Cuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, terutama setelah mempersiapkan daging mentah, ungas, telur dan makanan laut. Cuci tangan dilakukan setelah menggunakan kamar mandi, mengganti popok, bersentuhan dengan binatang peliharaan atau ketika merasa telah menyentuh sesuatu yang mungkin kotor. mencuci dan megeringkan tangan dengan handuk bersih atau tisu sekali pakai untuk mengeringkan tangan, sehingga kuman dapat dibuang (FDA. 2001) Namun ada kalanya sumber air mengalir dan sabun tidak tersedia, seperti saat seseorang sedang bepergian. Untuk mengatasi kendala ini, telah beredar pembersih tangan berupa tisu basah yang mengandung zat aktif phenoxythanol. Phenoxythanol memiliki spectrum anti mikroba yang luas baik terhadap bakteri gram negative atau gram positif, ragi dan jamur. Terdapat penelitian yang mengemukakan bahwa tisu basah merupakan alternativ yang dapat diterima untuk menggantikan cuci tangan menggunakan sabun dan air dalam menjaga kesehatan dan mengurangi terjadinya iritasi kulit (Butz. 1990). Meskipun demikian, efektifitas tisu basah masih belum ada penelitian yang mendukung. Berdasarkan masalah tersebut maka penulis ingin membandingkan efektifitas hasil mencuci tangan biasa dengan hasil mencuci tangan Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, berupa pemeriksaan bakteriologi menurut metode “swab” menggunakan pre test dan post test desain dari hasil kedua cara cuci tangan, yaitu mencuci tangan biasa dibandingkan dengan menggunakan tisu basah, pada mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes A.Yani Cimahi. Kemudiaan hasil dari kedua pengujian tersebut akan diuji secara statistik menggunakan program komputer. Subjek penelitian adalah 24 mahasiswa program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes A.Yani Cimahi angkatan 2012. Semua variabel dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu: variabel bebas/independen (tisu basah dan sabun cair), variabel tergantung/dependen (kebersihan tangan), dan variabel perancu (cara membersihkan tangan dan ketersediaan air Kebersihan tangan adalah membersihkan tangan dengan menggunakan sabun atau tisu basah secara benar sehingga menghilangkan mikrobiologi yang berada di tangan. Cara untuk melihat keberadaan mikrobiologi tersebut yaitu dengan menggunaakan metode swab. Koloni yang tumbuh pada medium agar nutrient dihitung lalu dijadikan indikator adanya mikrobiologi pada Sebelum mencuci tangan, sujek penelitian dilakukan pemeriksaan koloni bakteri dengan metode swab. Subjek penelitian A mencuci tangan dengan sabun biasa dan air mengalir selama 20 detik. Keringkan dengan kertas tisu, kemudian dilakukan pemeriksaan koloni bakteri dengan metode swab, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC, selama 24 kemudian dilakukan Subjek penelitian B membersihkan tangan menggunakan tisu basah,, menggosokkan tisu basah pada seluruh permukaan tangan secara menyeluruh, kemudian dilakukan pemeriksaan koloni bakteri dengan metode swab, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC, selama 24 Data yang terkumpul akan dianalisis secara statistik, setelah itu dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui distribusi datanya normal atau tidak. Jika data distribusi normal dilanjutkan dengan uji T berpasangan (dependen t test). Untuk mengetahui perbedaan yang jumlah koloni bakteri sebelum dan sesudah cuci tangan baik menggukan sabun maupun menggunakan tisu basah. Sedangkan untuk mengetahui keefektifan cuci tangan antara tisu basah dengan sabun biasa, menggunakan uji t independen (independen t test) Penelitian ini telah memperoleh persetujuan dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Stikes A.Yani Cimahi. Waktu penelitian pada bulan Desember 2012, tempat di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes A.Yani Cimahi Tabel 1. Perbedaan Jumlah Koloni Bakteri Sebelum dan Sesudah Mencuci Tangan Hasil análisis data didapatkan bahwa rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum mencuci tangan menggunakan sabun adalah 247, sedangkan rata- rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa setelah mencuci tangan Hasil uji statistik didapatkan p value=0,0001 dengan aplha 0,05 dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna rata-rata rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum dan setelah mencuci tangan menggunakan sabun. Tabel 2. Perbedaan Jumlah Koloni Bakteri Sebelum dan Sesudah Mencuci Tangan Hasil análisis data didapatkan bahwa rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum mencuci tangan menggunakan tisu basah adalah 121, sedangkan rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa setelah mencuci tangan Hasil uji statistik didapatkan p value=0,005 dengan alpha 0,05 dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum dan setelah mencuci tangan menggunakan tisu basah. Tabel 3. Perbedaan Jumlah Koloni Bakteri Antara MencuciTangan Menggunakan Hasil análisis data didapatkan bahwa rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa yang mencuci tangan menggunakan sabun adalah 167, sedangkan rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa yang mencuci tangan menggunakan tisu Hasil uji statistik didapatkan p value=0,194 dengan alpha 0,05 dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa antara yang mencuci tangan menggunakan sabun dan mahasiswa antara yang mencuci tangan menggunakan tisu basah (tisu basah dapat digunakan sebagai penganti cuci Sebelum penelitian dilakukan, peneliti melakukan uji pendahuluan hal ini dilakukan untuk mendapatkan control negative dari sabun dan tisu basah. Hasil uji pendahuluan pada percobaan control negative didapatkan hasil negative pada semua percobaan, yaitu tidak ada pertumbuhan kuman pada semua bahan uji, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada Penelitian tentang efektifitas tisu basah sebagai alternatif cuci tangan biasa dilakukan terhadap 24 mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes A. Yani Cimahi. Semua subjek diamati jumlah pertumbuhan koloni bakteri berdasarkan hasil kultur mikrobiologi, pengamatan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian perlakukan. Hasil uji statistik didapatkan p value=0,0001 dengan aplha 0,05 dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna rata-rata rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum dan setelah mencuci tangan menggunakan sabun. Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar, kulit bersentuhan langsung dengan lingkungan luar dan memiliki fungsi penting sebagai proteksi tubuh. Kretinisasi permukaan epidermis akan melindungi kulit dari mekanisme abrasi yang merupakan pertahanan fisik terhadap pathogen dan mikroorganisme asing (Eroschenko, 2008). Kulit manusia tidak bebas dari mikroorganisme karena pada permukaan kulit terdapat banyak bahan makanan yang mendukung pertumbuhan organisme seperti lemak, nitrogen dan mineral (Benny E. Wiryadi,2010). Flora normal adalah populasi mikroorganisme yang berada pada kulit dan mukosa orang sehat. Ada dua macam flora normal pada kulit yaitu resident flora dan transient flora (Brooks, 2007). Residen flora adalah mikroorganiisme yang hidup menetap pada permukaan kulit. Mikroorganisme berkembang di daerah tertentu yang bergantung pada beberapa faktor fisiologis seperti suhu, kelembaban, ketersediaan zat gizi tertentu dan faktor penghambat. Pada mukosa dan kulit, resident flora dapat mencegah kolonisasi mikroorganisme pathogen Hal ini dapat dicapai memalui mekanisme “bacterial interference”. Mekanisme ini melibatkan kompetensi reseptor pada sel inang, kompetisi untuk nutrisi, inhibisi mutalisme oleh produk metabolik atau racun, oleh bahan antibiotik dan bakteriotoksin. Pemberantasan flora normal jelas menciptakan kekosongan setempat yang cenderung diisi oleh mikroorgnisme dari lingkungan atau dari bagian lain tubuh. Mikroorganisme tersebut berperilaku sebagai oportunis dan dapat berubah menjadi pathogen, disisi lain, flora normal dapat menghasilkan penyakit dalam keadaan tertentu dan jika terapar dalam aliran darah atau jaringan, organisme ini dapat menjadi pathogen. Mikroorgnisme di kulit manusia dipengaruhi oleh usia, diet, hormon, kesehatan dan kebersihan (Murray, 2009). Factor penting dalam menghilangkan mikroorganisme yang bukan termasuk flora normal kulit adalah Ph rendah, asam lemak diskret kelenjar minyak dan adanya lisozim. Keringat yang banyak, mencuci tangan dan mandi dapat menghilangkan flora normal secara signifikan. Jumlah mikroorganisme dapat berkurang oleh scrubbing setiap hari dengan sabun mengandung desinfektan (Brooks, 2007). Tangan yang tidak dicuci dapat menyebarkan pathogen, mencuci tangan sangat penting dalam menghilangkan mikroorganisme pathogen (misalnya yang bersumber dari tinja) dari permukaan tangan, sehingga dapat memberikan perlindungan dari penularan pathogen dalam penyebaran penyakit. Oleh sebab itu, mencuci tangan secara benar dan rutin dapat mencegah penularan penyakit dan menurunkan insidesi penyakit menular, terutama yang Ada beberapa langkah cuci tangan biasa yang baik dan benar untuk mencapai hasil maksimal. Menurut World Healt Organisation (WHO) mencuci tangan dilakukan 40-60 detik. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam hal mengontrol pertumbuhan mikroorganisme, yaitu asepsis, sterilisasi, sanitasi, antisepsis dan desinfeksi. Asepsis adalah membunuh atau menghilangkan semua mikroorganisme dan produk beracun yang dihasilkannya termasuk spora. Sterilisasi dapat dilakukan dengan menggunakan panas, radiasi oleh sinar matahari atau ultraviolet, filtrasi dan bahan kimia Sanitasi adalah tindakan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi kemungkinan penularan penyakit Antisepsis adalah membunuh kuman pathogen tapi tidak membunuh flora normal (Mims, 2004). Antisepsis juga tidak membunuh spora (Mahon,2007). Desinfeksi adalah membunuh sebagian mikroorganisme, desinfeksi yang adekuat dapat mematikan mikroorganisme pathogen (Levinson, 2008). Desinfeksi dengan bahan kimia dapat membunuh bakteri pathogen tapi kemungkinan tidak membunuh virus atau spora. Desinfeksi dengan cara fisik seperti autoklaf maupun penguapan akan membunuh Metode yang digunakan untuk mengontrol pertumbuhan bakteri dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu fisika dan metode kimia. Untuk mengontrol pertumbuhan bakteri secara fisika dapat digunakan pemanasan (dry heat, autoklaf, perebusan dan pasteurisasi) filtrasi, Hasil uji statistik didapatkan p value=0,005 dengan alpha 0,05 dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum dan setelah mencuci tangan menggunakan tisu basah. Hasil uji statistik didapatkan p value=0,194 dengan alpha 0,05 dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa antara yang mencuci tangan menggunakan sabun dan mahasiswa antara yang mencuci tangan Menurut produsen, tisu basah telah banyak digunakan untuk membersihkan permukaan kulit .Selain praktis bahan yang terkandung dalam tisu basah juga tidak mengiritasi kulit. Bahan dasar tisu basah adalah rayon, rayon adalah serat selulosa yang sudah diregenerasi, yang terbuat dari bubur kayu yang diproses secara kimia. Sifatnya lebut, halus, berkualitas tinggi, non-woven dan cukup kuat untuk mencegah robeknya tisu. Tisu basah aman digunakan, sehingga dapat digunakan untuk semua kalangan. Kandungan yang terdapat dalam tisu basah ini antara lain phenoxythanol, air, propylene glycol, etidronic Menurut Material Safety Product Data Sheet tahun 2007 (MSDS, 2007), Phenoxyethanol dengan konsentrasi 100% berbahaya jika tertelan, terhirup atau diserap melalui kulit. Namun pada konsentrasi yang lebih rendah phenoxyethanol adalah aman (dalam kosmetik Dalam berbagai referensi, phenoxyethanol tidak berefek teratogenik, embriotoksik atau sensitizer.Phenoxyethanol juga tidak bersfat fototoksik. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa phenoxyethanol aman untuk digunakan (Schortichini, 1987;Liebert,1990). Kebersihan tangan merupakan komponen kunci dalam praktik kebersihan yang baik di rumah dan di masyarakat, kebersihan tangan dapat memberikan manfaat yang signifikan dalam hal mengurangi kejadian infeksi, terutama infeksi saluran pencernaan. Selain itu juga, dapat dilakukan dengan cara mencuci tangan dengan sabun atau dengan menggunakan pembersih tangan tanpa air, hal ini bertujuan untuk mengurangi kontaminasi pada tangan dengan cara membunuh organism yang ada di tangan. Kebersihan tangan dalam mengurangi peyakit infeksi dapat ditingkatkan misalnya dengan mencuci tangan dengan benar dan pada waktu yang tepat. Untuk mengoptimalkan manfaat kesehatan, promosi kebersihan tangan, harus disertai dengan pendidikan kebersihan dan juga harus melibatkan aspek-aspek lain dalam promosi kebersihan (Bloomfield.2007) Seiring kemajuan teknologi , telah di temukan alternafif pencuci tangan yang raktis dan efektif, tanpa menggunakan sabun dan air sebagaimana cuci tangan biasanya, yaitu tisu basah. Tisu basah memiiki zat aktif phenoxyethanol. Phenoxyethanol memiliki sprektum anti mikroba yang luas baik terhadap bakteri gram negative atau gram ositif, ragi atau jamur. Pengguaan tisu basah tidak sepenuhnya menggantikan kebutuhan cuci tangan yang benar dan dekontaminasi karena tidak ada pembilasan, sehingga perlu diteliti lagi apakah penggunaan tisu basah lebih baik dari mencuci tangan biasa. 1. Ada perbedaan yang bermakna rata-rata rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum dan setelah mencuci tangan menggunakan sabun (p=0,0001). 2. Ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa sebelum dan setelah mencuci tangan menggunakan tisu basah (0,005). 3. Tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata jumlah koloni bakteri telapak tangan mahasiswa antara yang mencuci tangan menggunakan sabun dan mahasiswa antara yang mencuci tangan menggunakan tisu basah (tisu basah dapat digunakan sebagai penganti 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada tangan mahasiswa yang relative bersih, maka diperlukan penelitian lebih lanjut dengan memeriksa subjek penelitian dari berbagai profesi untuk memperoleh hasil yang lebih objektif. 2. Dalam penelitian ini juga hanya menghitung jumlah pengurangan koloni bakteri setelah perlakukan, maka perlu penelitian lebih lanjut dengan mengidentifikasi kuman yang masih bertahan baik setelah mencuci tangan biasa maupun setelah mencuci tangan 3. Untuk cuci tangan disarankan jika tidak tersedia sabun, maka dapat menggunakan tisu basah, karena tisu basah juga efektif untuk menghilangkan bakteri telapak tangan Alcamo I.E (1996). Laboratory fundamental of microbiology. Farmingdale: Addison Wesley Assessment of Phenoxyethanol. Journal of the American college of toxicology, 2(9): 259-277. Benny E, Wiryadi (2010). Mikrobiologi kulit. Dalam Adhi Djuanda: Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Levinson W (2008). Medical meicrobiology and immunology. 10th ed. United States of America: Mc Mahon CR, Lehman DC, Manuselis G (2007). Diagnostic microbiology. 3th ed. China: Elsevier. Material Safety Product Data Shett (2003). http//msds.chem.ox.ac.uk/PH/2-phenoxyethanol.html. Murray PR, Baron E.J,Pfaller M.A (2009). Medical Microbiology. 6th ed. Canada; Elsevier. Syarif M,Wasitaatmadja (2010) Anatomi Kulit. Dalam Adhi Djuanda: Ilmu penyakit kulit dan www.hwo.int/gpsc/5may/How_To_HandWash_Poster.pdf. Zaidi Z, Lanigan S.S. (2010). Dermatology in clinical practice. New York: Springer.

Source: http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-journal/files/2012/201212/201212-002.pdf

11-769edown

Aspectos genéticos e sociais da sexualidade empessoas com síndrome de DownGenetic and social aspects of Down syndrome subjects’ sexualityLaboratório de Genética Humana e Citogenética, Instituto de Biologia, Universidade Federal da Bahia (UFBA). Salvador, BA, BrasilAs representações que pais e educadores fazem da sexualidade de pessoas com a síndrome de Down (SD)referem, muitas vezes, a

copdexchange.co.uk

Treating and Preventing COPD Exacerbations Exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease (COPD) are common and have serious implications. They are distressing The following are signs of a severe exacerbation:1 and disruptive for patients, and account for a significant proportion of the total costs of caring for patients with COPD.1 Acute exacerbations of COPD are the second most

© 2010-2018 Modern Medicine